Mahasiswa merupakan status sosial yang mempunyai keistimewaan. Dalam relasi dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, mahasiswa dianggap memiliki peran yang tidak terbandingkan.
Mahasiswa dipandang sebagai kelompok terpelajar yang berani menyuarakan aspirasi-aspirasi sosial yang tersumbat. Mahasiswa dilihat sebagai kekuatan sosial yang memiliki sensitivitas sosial tinggi. Keberpihakannya kepada kaum yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani, tidak perlu diragukan lagi.
Namun, perspektif sejenis itu gampang tergelincir menjadi mistifikasi. Peran yang dibebankan kepada mahasiswa sebagai penyuara kaum yang dibisukan hanya melahirkan kesadaran palsu. Apalagi ketika gerakan mahasiswa secara simplifikatif diidentikkan dengan gerakan massa.
Padahal, gerakan mahasiswa tidak harus merujuk pada aksi-aksi massa yang cenderung destruktif. Gerakan mahasiswa dapat dilakukan dalam ranah sosial mana pun untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang sengaja dilemahkan. Jadi, gerakan massa yang menjelma sebagai parlemen jalanan adalah sebuah alternatif belaka.
Mengapa mahasiswa mudah tergoda untuk mempraktikkan gerakan massa?
Sebagai sebuah tindakan, gerakan massa secara instan mudah dilihat hasilnya. Poster-poster dan teriakan-teriakan yang memuat kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat mudah dibaca. Radikalisme dan sikap untuk menunjukkan perlawanan gampang pula dicerna.
Dukungan yang diberikan media, dalam bentuk ekspose atau pemberitaan, menjadikan gerakan ini mendapat ruang dan waktu artikulasi. Semua pihak yang selama ini dalam domain sosial tidak bisa berteriak seakan-akan meraih megafon yang mampu bersuara lantang.
Tidak terlalu mengejutkan jika Arief Budiman, eksponen gerakan mahasiswa 1966, pernah menyamakan fenomena ini dengan aksi seorang resi yang turun dari ruang-ruang pertapaan sunyi. Sang resi turun gunung karena terpanggil oleh tugas sejarah yang harus dimainkan. Sang resi itu suci, cerdas, dan tentu tanpa pamrih. Kekuatan yang hanya dimiliki sang resi adalah moralitas untuk memerangi ketidakadilan. Idiom gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral intelektual pun tersembul dan menemukan kemapanan dalam wacana politik.
Berwatak destruktif
Apakah gambaran tentang sang resi yang suci itu masih layak dipertahankan?
Simak berbagai demonstrasi mahasiswa dalam menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Bukankah yang terjadi aksi-aksi destruktif? Penyerangan aparat keamanan negara, perusakan sejumlah fasilitas pemerintah, pemblokiran jalan yang makin menciptakan kemacetan, dan gangguan kenyamanan masyarakat merupakan ekses yang sulit dihindarkan saat mahasiswa menjalankan gerakan massa.
Pejabat pemerintah menunjukkan sikap moderat atas aksi-aksi destruktif ini. Ungkapan ”mahasiswa telah ditunggangi” selalu dihindari. Ada satu-dua pejabat yang terpeleset mengucapkan kata-kata itu. Dampaknya, pejabat itu dituding sebagai pihak yang menggunakan gaya rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa masih dilihat sebagai gerakan murni untuk memperjuangkan nasib rakyat tertindas.
Seandainya pihak yang melakukan gerakan massa destruktif itu adalah petani atau buruh, adakah yang peduli dan membela? Boleh jadi pejabat pemerintah dan aparat keamanan dengan ringan membekuk petani dan buruh yang membikin ulah itu. Jelas, para mahasiswa diuntungkan oleh posisinya yang bercorak nonkelas. Mahasiswa bukan kelompok borjuis yang memiliki modal, juga bukan kaum proletar korban eksploitasi. Ketika melakukan berbagai perusakan dan aksi destruktif, mereka masih disayangi.
Mahasiswa memilih gerakan massa untuk menunjukkan sikap politik. Padahal, kerentanan gerakan massa sulit dicegah. Gerakan massa mudah menjelma sebagai aksi kerumunan. Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology, 1964: 404-407) mengemukakan, kerumunan memiliki empat karakteristik, yakni (1) anonimitas sebagai akibat massa yang hadir begitu besar dan temporer; (2) impersonalitas yang menjadikan identitas individual lenyap; (3) mudah terbujuk karena tidak ada struktur baku, pemimpin yang bertanggung jawab, serta pola-pola perilaku yang dikenali; dan (4) penularan kekerasan mudah terjadi karena aksi kekerasan yang satu diikuti aksi kekerasan berikutnya.
Mudah tersulut
Kekerasan mudah tersulut saat gerakan massa dipilih mahasiswa. Hal ini terjadi karena mahasiswa bukan lagi memerankan diri sebagai resi suci, tetapi lebih sebagai segerombolan orang yang beraksi dalam kerumunan. Sikap permisif menggulirkan kekerasan terlontar karena yang tercipta adalah oposisi biner mahasiswa versus polisi, atau kita melawan mereka. Mahasiswa seolah sedang memainkan peran sang protagonis, sedangkan aparat keamanan dilihat sebagai sosok antagonis yang harus dilenyapkan.
Sifat cair yang ada pada gerakan massa menjadikan para partisipannya tidak lagi homogen. Bukankah gerakan massa selalu dilakukan di ruang-ruang terbuka yang memungkinkan pihak lain mengambil keuntungan di dalamnya? Mengikuti ide Elias Canetti (seperti dikutip F Budiman Hardiman, Memahami Negativitas, 2005: 90-91), mahasiswa (sebagai massa tertutup) yang telah menyiapkan aksi-aksinya mendapat tambahan anggota baru sehingga jumlah pelaku cepat bertambah. Siapa yang berdiri di sekitar aksi massa itu akan ”tersedot” ke dalam massa yang anggotanya kian banyak (massa terbuka).
Menjadi bisa dimengerti jika gerakan mahasiswa yang lebih menonjolkan aksi-aksi massa amat rentan diintervensi pihak lain. Godaan mahasiswa untuk menjalankan gerakan massa memang penuh risiko. Bukan glorifikasi kepahlawanan yang akan diraih mahasiswa, tetapi kecaman masyarakat yang menilai aksi-aksi mahasiswa sedemikian brutal dan menunjukkan watak anti-intelektualitas!
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Sungguh tak bermoral bila mahasiswa Indonesia menerima uang dari program Bantuan Khusus Mahasiswa yang diambil dari dana pengalihan subsidi BBM. Dapatkah uang tersebut ditafsirkan sebagai ”uang suap” karena dapat diduga diniatkan untuk meredam gerakan mahasiswa?
Bila pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) tidak pernah ada. Artinya, beban berat kenaikan harga BBM beserta totalitas dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang dipikul masyarakat dikompensasi dengan keuntungan mahasiswa melalui BKM.
Dapat dipertanyakan pula, bermoralkah sebuah rezim pemerintah yang tak becus mengelola kekayaan sumber daya minyak dan mineralnya, lalu membujuk kelompok penentangnya, khususnya mahasiswa, dengan program BKM?
Meredam gerakan mahasiswa
Tak pernah ada rencana pemerintah sebelumnya untuk mengalihkan subsidi BBM kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan, debat di ”Kupas Tuntas” Trans7 (27/5) antara penulis dan Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan) hanya mengungkapkan bahwa subsidi BBM dialihkan kepada rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 14,17 triliun, yang akan dibagikan pemerintah kepada 19,12 juta rumah tangga. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja muncul keputusan pemerintah membagi dana pengalihan subsidi BBM dalam program BKM. Sebanyak 400.000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta akan menerima Rp 500.000 per semester mulai Juli 2008 (Kompas, 28/5).
Ada apa? Program ini adalah sikap reaktif dan panik pemerintah setelah mahasiswa di seluruh Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersama beragam sektor masyarakat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, dan lainnya) serta kelompok menengah dan oposisi. Konfrontasi tak terhindarkan lagi, terutama di Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan terakhir penyerbuan dan perusakan Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dengan kekerasan brutal aparat yang mengakibatkan sekitar 140 mahasiswa ditahan serta terluka ringan dan berat. Sudah 200-an mahasiswa yang ditangkap aparat di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya menjadi tersangka. Tersangka dari Unas saja 31 orang, ditahan sejak 24 Mei 2008.
Titik konfrontasi pemerintahan SBY-JK versus gerakan mahasiswa 2008 semakin tajam dan dipenuhi kekerasan serta rumah tahanan. Tentu penajaman konflik dan perluasan elemen masyarakat semakin mengkhawatirkan pemerintah. Ketika titik konfrontasi gerakan mahasiswa mengerucut, sebuah rezim tinggal menghitung hari kejatuhannya. Apakah berpola Jakarta, Mei 1998, untuk kemenangan status quo Orbais ataukah Filipina, 1986, untuk kemenangan para demokrat-progresif?
Dinamika politik penentunya dan gerakan mahasiswa 2008 jantung perubahannya. Program BLT, kekerasan, dan penjara, serta kini BKM dipadukan untuk meredamnya. Bisakah uang rakyat dipakai untuk mencari popularitas politik dan mempertahankan kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat. Becermin pada sejarah, tak ada cara untuk membalikkan arus sejarah gerakan mahasiswa ini.
BLT versus BKM
Mengapa BLT harus diterima rakyat, tetapi kenaikan harga BBM harus dibatalkan? Karena BLT tanpa kenaikan harga BBM pun adalah hak rakyat miskin seperti yang diamanatkan Konstitusi 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”, jadi sebuah kewajiban konstitusional. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat saja mengenal santunan untuk orang miskin lewat program social security-nya. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.
Di Swedia, misalnya, total jaminan kesejahteraan sosial dari produk domestik bruto (PDB) 24,1 persen (1980), 24,9 persen (1985), 27,3 persen (1990), dan 29,3 persen (1995). Lalu, kesehatan publik terhadap persentase total pengeluaran kesehatan 84,0 persen (1980), 83,6 persen (1985), 82,6 persen (1990), dan 80,8 persen (1990). Bandingkan, pendapatan per kapita Indonesia (metode Purchasing Power Parity) sebesar 3.210 dollar AS, sedangkan Swedia 26.600 dollar AS (Bank Dunia). Di Swedia, kemiskinan dan pengangguran diperangi sekaligus ketimpangan sosial diatasi dengan pajak progresif hingga 50-55 persen. Adakah pajak progresif untuk 200-an konglomerat Indonesia, salah satunya adalah seorang menteri yang kini terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara (asetnya 9,2 miliar dollar AS atau Rp 84,6 triliun)?
Bila BLT mesti diterima rakyat, BKM haruslah ditolak, pertama, merupakan ”uang suap” untuk meredam gerakan mahasiswa 2008; kedua, merupakan ”uang haram” karena bukan hak mahasiswa Indonesia, tetapi hak rakyat dari pengalihan subsidi BBM; ketiga, merusak karakter gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan; keempat, menghancurkan integritas moral dan integritas intelektual mahasiswa Indonesia.
Nah, di titik inilah kita bertemu dengan sikap tegas yang menjadi cermin integritas moral dan intelektual mahasiswa Indonesia—karena mereka berjuang untuk rakyat, bukan untuk BKM—melalui Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran), kata Gie, ”Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan.”
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Dwi Deni (25), Senin (2/11) siang itu, sengaja meminta izin dari kantornya, konsultan swasta untuk Departemen Pekerjaan Umum. Izinnya, ”Ada keperluan pribadi.” Namun, sebenarnya ia melakukan sesuatu yang disebutnya, ”Demi kepentingan bangsa.”
Siang itu, matahari terik membakar. Dwi berbaur dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Pita hitam melingkar di lengan kirinya. ”Masyarakat maunya sederhana, yang benar didukung dan yang korup diberantas,” kata Dwi.
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan janji-janji. Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semangat yang sama juga menggerakkan Anwar Umar (80) untuk mengikuti aksi itu. Sama seperti Dwi, pita hitam erat melingkar di lengan kirinya. Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi.
Dengan langkah berat dan lelah, serta suara yang bergetar, Anwar masih bersemangat. ”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi tetap merajalela,” katanya.
Suasana siang itu mengingatkan Anwar pada 11 tahun silam menjelang era reformasi. ”Saya tak rela reformasi hanya melahirkan penguasa yang tak mau berpihak kepada rakyat,” katanya.
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di beberapa kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju hitam. ”Ini bukan karena ikut-ikutan, tetapi kami secara sadar mendukung gerakan melawan korupsi,” kata Susi Afianti (26), karyawati salah satu bank swasta di kawasan Sudirman.
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah. Pada hari yang sama, unjuk rasa terjadi di beberapa daerah. Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Di dunia maya, dukungan kian menggelembung. Hingga pukul 21.00, hampir setengah jutafacebookers menyatakan dukungan terhadap Bibit dan Chandra. Dari mana munculnya gerakan ini sesungguhnya?
Kekuatan rakyat
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, gerakan ini berasal dari kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa. ”Walau tanpa dukungan dari partai oposisi, gerakan ini bisa menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengimbau agar pemerintah tak meremehkan kekuatan rakyat. ”Dukungan rakyat bila tidak mampu dibendung Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat atau people’s power,” katanya.
Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan rakyat di Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun 1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan Soeharto. ”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat tidak mungkin dihadapi dengan kekuasaan,” ujarnya.
Dalam konteks kisruh KPK dan Polri, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Oktober lalu ternyata tidak mampu menyurutkan dukungan masyarakat terhadap Bibit dan Chandra.
Bibit dan Chandra, kata Hikmahanto, telah dijadikan simbol oleh rakyat. ”Semakin lama mereka ditahan, semakin kuat dukungan. Dukungan pun semakin lama semakin berpotensi untuk berubah menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.
Namun, pada akhirnya, menurut Hikmahanto, Presiden mulai mendengar suara kritis dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Proses Hukum terhadap Bibit dan Chandra. Hikmahanto menjadi salah satu anggotanya. ”Jangan terlalu banyak berharap, tetapi kita akan bekerja keras dalam dua minggu ini,” katanya.
Apakah ini akan meredam gerakan rakyat yang sudah kadung kecewa berat?
Bagai candu
Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan Chandra. ”Tetapi, seharusnya menjadi tonggak untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi. Selama tim independen belum menyentuh masalah ini, kami akan terus bergerak,” katanya.
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI, Irma Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk di studio rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung KPK tengah membuat ringtone untuk telepon genggam. Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan Cholil ’ERK’. Besokringtone ini mulai beredar di seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
Simaklah liriknya, KPK di dadaku KPK kebanggaanku, kuyakin kebenaran pasti menang. Kobarkan semangatmu, tunjukkan kebersihanmu, kuyakin kebenaran pasti menang.
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Rakyat Filipina dan pencinta demokrasi berduka atas kematian Corazon ”Cory” Cojuangco Aquino (1/8/2009). Warisan inspirasi apa dari ikon demokrasi ini?
Di mata Presiden Ferdinand Marcos dan kroninya, Cory Aquino ”hanya” seorang ibu rumah tangga. Ungkapan itu muncul saat Cory menantang Marcos pada pemilihan presiden (7/2/1986).
Marcos mengumumkan Snap Presidential Election secara tiba-tiba, November 1985, untuk memamerkan kepada dunia dia masih memegang mandat rakyat. Marcos yakin oposisi tidak akan mampu menandinginya. Benigno ”Ninoy” Aquino Jr, pemimpin karismatik oposisi, ditembak mati tahun 1983 saat menginjakkan kaki di Bandara Internasional Manila sepulang dari pengasingan politik di Boston, AS.
Kalkulasi politik Marcos meleset. Kemartiran Ninoy Aquino menyulut amarah rakyat terhadap Sang Tiran yang melanggengkan kekuasaan selama 20 tahun dengan teror dan kelicikan. Oposisi berhasil membangun koalisi dengan menempatkan Cory, istri Ninoy, sebagai simbol gerakan moral melawan tirani.
Marcos ditumbangkan melalui people power revolution. Cory, ibu rumah tangga yang sebetulnya enggan terjun ke pentas politik, dilantik menjadi presiden.
Konsolidasi demokrasi
Presiden Cory mengemban dua agenda utama: konsolidasi demokrasi dan pemulihan ekonomi. Di bawah pemerintahannya (1986-1992), kebebasan pers dipulihkan. Tahanan politik pada masa Marcos dibebaskan. Konstitusi baru disahkan Februari 1987 melalui referendum, menggantikan Konstitusi 1973, produk rezim otoriter Marcos. Pemilihan anggota legislatif dan pemerintah daerah berjalan demokratis meski ditandai kebangkitan figur-figur politikus dari berbagai keluarga yang telah lama mendominasi pentas politik Filipina.
Tidak mudah menjadi presiden pada masa transisi. Penegakan pemerintahan sipil diganggu dengan tujuh kali upaya kudeta, dari Juli 1986 sampai Desember 1989. Ironisnya, kudeta-kudeta itu tidak hanya dilakukan kelompok militer pendukung Marcos, tetapi juga kelompok militer yang menjatuhkan Marcos.
Pemulihan ekonomi dihadang banyak kendala, antara lain instabilitas politik akibat kudeta, gempa bumi, dan letusan Gunung Pinatubo. Di bawah tekanan IMF, Bank Dunia, dan AS, Cory memutuskan membayar seluruh utang peninggalan Marcos, 27,2 miliar dollar AS plus bunga, meski 10-15 miliar dollar AS dari utang itu masuk ke rekening pribadi rezim lama (Abinales dan Amoroso, 2005:233).
Pembayaran utang mencapai 3,5 miliar dollar AS per tahun (sekitar 10 persen PDB). Tahun 1987, 50 persen budget nasional untuk membayar utang (Bello, 2004:14). Akibatnya, kemampuan negara menstimulasi pemulihan ekonomi menjadi lumpuh.
Cory bukanlah presiden yang sempurna. Keputusannya untuk mempertahankan pangkalan militer AS (Subic dan Clark) dinilai melemahkan kedaulatan negara. Keputusan itu dibuat mengingat peran penting militer AS dalam kejatuhan Marcos dan pengamanan masa transisi. Kudeta militer berdarah Desember 1989 berhasil dilumpuhkan antara lain berkat dukungan militer AS.
Cacat pemerintahan Cory pada kelemahan mengimplementasi program land reform yang dimandatkan Konstitusi 1987. Saat program land reform membidik 6.000 hektar tanah perkebunan Hacienda Luisita milik keluarga besarnya di Tarlac, Presiden Cory gagal memberi dukungan politis yang diperlukan untuk mengeksekusi program itu.
Meski pemerintahannya mengandung kecacatan, Cory mewariskan demokrasi dan mampu menolak godaan penyalahgunaan kekuasaan. Cory adalah satu-satunya presiden yang tidak mencoba memperpanjang masa jabatan dengan mengamandemen Konstitusi 1987 yang membatasi jabatan presiden untuk satu term (6 tahun).
Pesan terakhir
Keluarga Cory menolak tawaran pemakaman kenegaraan dari pemerintah. Keputusan itu rupanya terkait partisipasi Cory, belakangan ini, dalam gerakan menuntut Presiden Gloria Macapagal-Arroyo mundur karena dugaan korupsi dan kecurangan dalam pemilu 2004.
Pesan lain, Cory ingin dimakamkan di samping suaminya, Ninoy, sebagai warga negara biasa. Dia tidak memandang dirinya sebagai pahlawan, tetapi warga biasa yang diberi kepercayaan memimpin negara. Setelah mengemban kepercayaan sebagai presiden, Cory kembali hidup sebagai rakyat biasa dan menolak diperlakukan istimewa. Kerendahan hati. Itulah yang perlu diresapkan sebagai inspirasi bagi para pemimpin.
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Di hari-hari ini, terkait respons pemerintah atas kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, sejumlah kalangan mulai menyebut-nyebut kembali soal people power. Apa dan bagaimana aksi politik ini sejatinya? Sepenjang sejarah, people power terus berulang. Gerakan mahasiswa (1968/1972) di Eropa Barat (saat itu), gerakan anti rezim militer Thailand (1973), EDSA revolution Filipina (1986), Velvet Revolution (1989) di Cekoslowakia saat itu, hingga runtuhnya Tembok Berlin (1989). Bahkan, sejak pergantian millennium, hampir saban tahun publik dunia menjadi saksi gerakan rakyat, mulai dari Bulldozer Revolution di Serbia (2000), EDSA II di Filipina (2001), Rose Revolution di Georgia (2003), Orange Revolution di Ukraina (2004), Tulip Revolution di Kyrgyzstan (2005), Cedar Revolution di Lebanon (2005), Jeans Revolution di Belarus (2006), PAD Movement di Thailand (2006 dan 2008), Saffron Revolution di Burma (2007) dan terakhir Green Revolution di Iran (2009).
People power juga sering disebut “color revolutions” merujuk pada identitas warna atau lambang (biasanya, bunga), yang dikenakan massa pendukung gerakan tersebut. Ciri utama terletak pada ruh dan pilihan instrumen “aksi damai” dan melibatkan “orang biasa” –bukan pelaku politik formal. Serta, menyertakan tuntutan ini: perubahan rezim.
McAdam, Tarrow, dan Tilly (2001) melabeli people power dengan istilah “trangressive contention”: “cases of contention in which at least some of the parties to the conflict are newly self-identified political actors employing innovative collective action or adopts means are either unprecedented or forbidden within the regime in question to making claims.” Merujuk formula McAdam dkk., catatan ini menyoroti secara khusus tiga faktor kunci dari beberapa episode people power.
Elemen Pendukung
People power merupakan proses dinamis yang meletup karena terimbas dari aktivitas maupun momentum yang terjadi sebelumnya. Mekanisme meretasnya people power dipengaruhi sejumlah elemen. Pertama, struktur mobilisasi. Keunggulan people power bertumpu pada kemampuan memobilisasi massa dengan tuntutan isu yang seragam dan dikemas dalam aksi damai pada rentang waktu tertentu. Penggunaan media high-tech tak sebatas membentuk opini dan solidaritas virtual, tapi sampai pada menghipnotis massa untuk tumpah ruah di jalanan. Saat EDSA I (1986), peran Radio Veritas sangat vital dalam menciptakan kanal mobilisasi. Siaran Radio Veritas tidak saja menjadi satu-satunya medium komunikasi yang menyiarkan langsung perkembangan aksi, tapi juga memberi informasi pada “kerumunan” atas pergerakan pasukan Marcos, permintaan logistik, dan yang terpenting memobilisasi hingga dua juta orang di sekitar camp Aquinaldo dan EDSA. Pada EDSA II, peran Radio Veritas digantikan pesan
pendek via telepon genggam. Green Revolution di Iran menggunakan Internet, khususnya media Twitter.
Elemen kedua, brokerage dan boundary activation. People power semakin meluas bila terdiri dari beragam elemen kelompok maupun organisasi masyarakat. Galibnya, kelompok inti gerakan adalah organisasi mahasiswa maupun organisasi non-pemerintah. Tapi ini saja tidak cukup. Gerakan demonstrasi di Eropa pada 1968, semula hanya dilakoni mahasiswa yang menuntut perbaikan kondisi pekerja. Tanpa kemampuan merangkul dan menggerakkan kelompok buruh dan kelompok sosial lain, mustahil gerakan ini membesar dan memiliki efek domino di beberapa negara Eropa Barat.
Selanjutnya, elemen ketiga, adalah instrumen gerakan. Penggunaan instrumen aksi yang telah baku dan “ditoleransi” penguasa lazim digunakan. Tapi, selain mudah diantisipasi, menggunakan cara itu-itu saja cenderung tidak memikat orang untuk bergabung. Perlu dicatat, people power memiliki karakter sebagai “pesta rakyat” yang sanggup membuat orang biasa rela berpeluh dan meluangkan waktu. Cara-cara inovatif dan bahkan di luar kelaziman seperti dipertunjukkan gerakan PAD di Thailand dengan menduduki Bandara Don Muang dan Suvarnabhumi serta pendudukan kantor perdana menteri, membuat aktivitas pemerintahan lumpuh serta memacetkan sektor pariwisata sehingga menambah daya tekan terhadap rezim.
Elemen terakhir adalah “sertifikasi.” Mendapatkan legitimasi atas gerakan merupakan hal penting – bahwa gerakan tersebut sah dan “direstui.” Penggunaan atribut warna kuning yang merupakan simbol kerajaan Thailand atau keikutsertaan Kardinal Sin di Filipina, memberi sinyal kepada “penonton” bahwa gerakan ini direstui raja dan otoritas gereja sehingga menyemangati khalayak ramai untuk bergabung.
Bingkai Gerakan
Mengemas people power menjadi tuntutan bersama demi terwujudnya perubahan rezim menjadi poin krusial bagi gerakan. Sepanjang dua dasawarsa terakhir, landasan moral yang menjadi tuntutan politik dari beragam people power adalah melawan rezim otoriter dan korup. Meramu alasan yang dikemas dalam isu-isu populer menjadi penting guna membentuk identitas, solidaritas, serta tuntutan politik.
Keberadaan solidarity maker juga krusial untuk membentuk solidaritas dan asosiasi massa terhadap tokoh atau organisasi sebagai pengikat gerakan. Pentolan gerakan seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Vaclav Havel, Cory Aquino, dan Lech Wałęsa, menjadi personifikasi dari people power tersebut. Warna, simbol, serta logo merupakan atribut yang membentuk identitas gerakan. Atribut lain, misalnya, slogan dibutuhkan pula. Sebagai contoh, aktivis people power di Filipina memakai slogan LABAN (Lawan!).
Tak kalah penting adalah tuntutan. Meramu tuntutan bukan perkara mudah, karena ada beragam kelompok dan individu dalam gerakan people power dengan kepentingan dan “tingkat kepuasan” capaian berbeda. Aktivis PAD di Thailand menetaskan tuntutan “New Politics,” di Filipina (2001) dengan RIO-nya (Resignation- Impeachement- Ousted), sedangkan di Serbia “Gotov je” (Dia – Milosevic – Tamat!), sebagai ungkapan sekaligus tuntutan terhadap rezim.
Memudarnya lintas negara dan kemajuan teknologi komunikasi membuat para pemrakarsa people power dapat saling bertukar jurus. Hal yang terjadi di Filipina dapat dimodifikasi di Ukraina atau kegagalan di Burma dan Iran dapat menjadi pelajaran penting bagi pegiat di belahan dunia lain. Bahkan, “bantuan teknis” pun kerap dilakukan seperti yang dilakukan Otpor (gerakan mahasiswa dari Belgrade University di Serbia,) yang menularkan kisah sukses mereka, di antaranya, ke Georgia, Ukraina, Kyrgistan, dan Belarus.
Tipe Rezim
Tipologi rezim sangat menentukan corak dan proses gerakan. Tarrow dan Tilly (2007) membagi empat kuadran tipe rezim: rezim otoriter atau demokratis serta rezim dengan kapasitas rendah atau tinggi. Kapasitas rezim merujuk pada kemampuan mengontrol teritori dan tingkat soliditas rezim. Rezim otoriter dan berkapasitas tinggi mampu meredam gerakan rakyat dengan cara represif dan cenderung brutal. Kegagalan saffron revolution yang melibatkan para biksu di Burma, menjadi bukti betapa rezim otoriter dengan kemampuan represif mampu mematahkan people power. Rezim ini juga yang mengudeta Aung San Suu Kyi dan menumpas “protes 8888” (aksi penolakan kudeta junta militer pada 8 Agustus 1988).
Cerita sukses people power umumnya terjadi pada rezim otoriter dengan kapasitas rendah. Skandal, baik korupsi atau pemilu, membuka peluang gerakan massa menyeruak karena kemampuan rezim dalam mengendalikan teritori dan menggunakan instrumen kekerasan terbatas. Belum lagi jika secara internal timbul keretakan di kalangan elit. Dengan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka, perubahan rezim menjadi niscaya.
Untuk Asia Tenggara, “berlaku” siklus people power dalam merontokkan rezim predator–dimulai dari Filipina merambat ke Thailand dan singgah di Indonesia. Dengan dimotori para veteran people power sebelumnya, Filipina berhasil menggulingkan Joseph Estrada dan Thailand mengusir Thaksin Sinawatra. Dengan tipologi rezim hybrid, berkapasitas rendah, serta cenderung lamban dalam mengambil keputusan, tentunya membuka peluang bagi gerakan people power di Indonesia. Akankah siklus ini berputar sempurna?
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Adrian White dari Universitas Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia. Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64.
Survei lain satu dasawarsa lalu menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa?
Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu?
Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.
Itu berarti tingkat stres hidup orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau stres merundung.
Stres merusak badan, selain merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan (pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah pikulan stres kebanyakan orang sekarang.
Paradoks ”n-Ach”
Pada awal modernisasi kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement (”virus jiwa n-Ach”). Jiwa bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya. Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan ekonomi bangsa.
Namun, kini terbukti, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu.
Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy.
Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.
Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.
Banyak uang tak bahagia
Filosofi orang banyak yang salah kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang.
Sejatinya uang betul penting. Tapi, bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa.
Karena kesuksesan kebanyakan orang ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak bahagia sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan.
Orang bisa membeli ranjang emas, bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak berbahagia.
Universitas di negara maju sekarang menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan produktivitas buat negara akan terpetik.
Pintar saja tak cukup. Sekarang anak perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah. Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajarim tetapi berkembang sendirinya bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah satunya.
Kekayaan negara bukan segalanya. Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah bikin bangsa bahagia.
Buat kita, supaya bisa sebahagia orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga mampu menebus kebahagiaan dalam hidup.
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220
Budhy Munawar Rachman – The Asia Foundation
Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish Madjid.
Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama.
Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya adalah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit pada tahun 2003, dengan jelas menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan.
Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development.
Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar.
Sampai di mana pergulatan pemikiran umat Islam di Indonesia terkait isu modernisasi?
Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru.
Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang baik.
Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi.
Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap untuk mengimplementasikan demokrasi. Tetapi, masyarakat sebenarnya masih membutuhkan tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal.
Bisa memberi contohnya?
Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an.
Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat karena ide ini dianggap ”barat” dan tidak cocok dengan ide ”Timur” dan Islam. Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat adalah LSM yang peduli feminisme.
Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima.
WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka.
Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana maupun terorisme.
Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan cenderung radikal.
Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul?
Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan.
Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah.
Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak sampai pada tahap yang membahayakan jiwa.
Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme?
Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda.
Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme.
Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia?
Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir dan berargumen sehingga menjadi jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin.
Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum sampai pada tahap praktis.
Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al Quran laa iqroha fid-dien, yang artinya tak ada pemaksaan dalam beragama. Tetapi, sekarang tantangannya lebih berat.
Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah.
Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi aktif?
Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat.
Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana.
Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun negara-negara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan.
Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain.
Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih perlu waktu.
Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu?
Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai.
Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220