Mahasiswa dan Gerakan Massa

06.10 0 Comments

Mahasiswa merupakan status sosial yang mempunyai keistimewaan. Dalam relasi dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, mahasiswa dianggap memiliki peran yang tidak terbandingkan.

Mahasiswa dipandang sebagai kelompok terpelajar yang berani menyuarakan aspirasi-aspirasi sosial yang tersumbat. Mahasiswa dilihat sebagai kekuatan sosial yang memiliki sensitivitas sosial tinggi. Keberpihakannya kepada kaum yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani, tidak perlu diragukan lagi.

Namun, perspektif sejenis itu gampang tergelincir menjadi mistifikasi. Peran yang dibebankan kepada mahasiswa sebagai penyuara kaum yang dibisukan hanya melahirkan kesadaran palsu. Apalagi ketika gerakan mahasiswa secara simplifikatif diidentikkan dengan gerakan massa.

Padahal, gerakan mahasiswa tidak harus merujuk pada aksi-aksi massa yang cenderung destruktif. Gerakan mahasiswa dapat dilakukan dalam ranah sosial mana pun untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang sengaja dilemahkan. Jadi, gerakan massa yang menjelma sebagai parlemen jalanan adalah sebuah alternatif belaka.

Mengapa mahasiswa mudah tergoda untuk mempraktikkan gerakan massa?

Sebagai sebuah tindakan, gerakan massa secara instan mudah dilihat hasilnya. Poster-poster dan teriakan-teriakan yang memuat kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat mudah dibaca. Radikalisme dan sikap untuk menunjukkan perlawanan gampang pula dicerna.

Dukungan yang diberikan media, dalam bentuk ekspose atau pemberitaan, menjadikan gerakan ini mendapat ruang dan waktu artikulasi. Semua pihak yang selama ini dalam domain sosial tidak bisa berteriak seakan-akan meraih megafon yang mampu bersuara lantang.

Tidak terlalu mengejutkan jika Arief Budiman, eksponen gerakan mahasiswa 1966, pernah menyamakan fenomena ini dengan aksi seorang resi yang turun dari ruang-ruang pertapaan sunyi. Sang resi turun gunung karena terpanggil oleh tugas sejarah yang harus dimainkan. Sang resi itu suci, cerdas, dan tentu tanpa pamrih. Kekuatan yang hanya dimiliki sang resi adalah moralitas untuk memerangi ketidakadilan. Idiom gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral intelektual pun tersembul dan menemukan kemapanan dalam wacana politik.

Berwatak destruktif

Apakah gambaran tentang sang resi yang suci itu masih layak dipertahankan?

Simak berbagai demonstrasi mahasiswa dalam menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Bukankah yang terjadi aksi-aksi destruktif? Penyerangan aparat keamanan negara, perusakan sejumlah fasilitas pemerintah, pemblokiran jalan yang makin menciptakan kemacetan, dan gangguan kenyamanan masyarakat merupakan ekses yang sulit dihindarkan saat mahasiswa menjalankan gerakan massa.

Pejabat pemerintah menunjukkan sikap moderat atas aksi-aksi destruktif ini. Ungkapan ”mahasiswa telah ditunggangi” selalu dihindari. Ada satu-dua pejabat yang terpeleset mengucapkan kata-kata itu. Dampaknya, pejabat itu dituding sebagai pihak yang menggunakan gaya rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa masih dilihat sebagai gerakan murni untuk memperjuangkan nasib rakyat tertindas.

Seandainya pihak yang melakukan gerakan massa destruktif itu adalah petani atau buruh, adakah yang peduli dan membela? Boleh jadi pejabat pemerintah dan aparat keamanan dengan ringan membekuk petani dan buruh yang membikin ulah itu. Jelas, para mahasiswa diuntungkan oleh posisinya yang bercorak nonkelas. Mahasiswa bukan kelompok borjuis yang memiliki modal, juga bukan kaum proletar korban eksploitasi. Ketika melakukan berbagai perusakan dan aksi destruktif, mereka masih disayangi.

Mahasiswa memilih gerakan massa untuk menunjukkan sikap politik. Padahal, kerentanan gerakan massa sulit dicegah. Gerakan massa mudah menjelma sebagai aksi kerumunan. Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology, 1964: 404-407) mengemukakan, kerumunan memiliki empat karakteristik, yakni (1) anonimitas sebagai akibat massa yang hadir begitu besar dan temporer; (2) impersonalitas yang menjadikan identitas individual lenyap; (3) mudah terbujuk karena tidak ada struktur baku, pemimpin yang bertanggung jawab, serta pola-pola perilaku yang dikenali; dan (4) penularan kekerasan mudah terjadi karena aksi kekerasan yang satu diikuti aksi kekerasan berikutnya.

Mudah tersulut

Kekerasan mudah tersulut saat gerakan massa dipilih mahasiswa. Hal ini terjadi karena mahasiswa bukan lagi memerankan diri sebagai resi suci, tetapi lebih sebagai segerombolan orang yang beraksi dalam kerumunan. Sikap permisif menggulirkan kekerasan terlontar karena yang tercipta adalah oposisi biner mahasiswa versus polisi, atau kita melawan mereka. Mahasiswa seolah sedang memainkan peran sang protagonis, sedangkan aparat keamanan dilihat sebagai sosok antagonis yang harus dilenyapkan.

Sifat cair yang ada pada gerakan massa menjadikan para partisipannya tidak lagi homogen. Bukankah gerakan massa selalu dilakukan di ruang-ruang terbuka yang memungkinkan pihak lain mengambil keuntungan di dalamnya? Mengikuti ide Elias Canetti (seperti dikutip F Budiman Hardiman, Memahami Negativitas, 2005: 90-91), mahasiswa (sebagai massa tertutup) yang telah menyiapkan aksi-aksinya mendapat tambahan anggota baru sehingga jumlah pelaku cepat bertambah. Siapa yang berdiri di sekitar aksi massa itu akan ”tersedot” ke dalam massa yang anggotanya kian banyak (massa terbuka).

Menjadi bisa dimengerti jika gerakan mahasiswa yang lebih menonjolkan aksi-aksi massa amat rentan diintervensi pihak lain. Godaan mahasiswa untuk menjalankan gerakan massa memang penuh risiko. Bukan glorifikasi kepahlawanan yang akan diraih mahasiswa, tetapi kecaman masyarakat yang menilai aksi-aksi mahasiswa sedemikian brutal dan menunjukkan watak anti-intelektualitas!

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: