Mahasiswa dan Gerakan Massa

06.10 0 Comments

Mahasiswa merupakan status sosial yang mempunyai keistimewaan. Dalam relasi dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, mahasiswa dianggap memiliki peran yang tidak terbandingkan.

Mahasiswa dipandang sebagai kelompok terpelajar yang berani menyuarakan aspirasi-aspirasi sosial yang tersumbat. Mahasiswa dilihat sebagai kekuatan sosial yang memiliki sensitivitas sosial tinggi. Keberpihakannya kepada kaum yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani, tidak perlu diragukan lagi.

Namun, perspektif sejenis itu gampang tergelincir menjadi mistifikasi. Peran yang dibebankan kepada mahasiswa sebagai penyuara kaum yang dibisukan hanya melahirkan kesadaran palsu. Apalagi ketika gerakan mahasiswa secara simplifikatif diidentikkan dengan gerakan massa.

Padahal, gerakan mahasiswa tidak harus merujuk pada aksi-aksi massa yang cenderung destruktif. Gerakan mahasiswa dapat dilakukan dalam ranah sosial mana pun untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang sengaja dilemahkan. Jadi, gerakan massa yang menjelma sebagai parlemen jalanan adalah sebuah alternatif belaka.

Mengapa mahasiswa mudah tergoda untuk mempraktikkan gerakan massa?

Sebagai sebuah tindakan, gerakan massa secara instan mudah dilihat hasilnya. Poster-poster dan teriakan-teriakan yang memuat kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat mudah dibaca. Radikalisme dan sikap untuk menunjukkan perlawanan gampang pula dicerna.

Dukungan yang diberikan media, dalam bentuk ekspose atau pemberitaan, menjadikan gerakan ini mendapat ruang dan waktu artikulasi. Semua pihak yang selama ini dalam domain sosial tidak bisa berteriak seakan-akan meraih megafon yang mampu bersuara lantang.

Tidak terlalu mengejutkan jika Arief Budiman, eksponen gerakan mahasiswa 1966, pernah menyamakan fenomena ini dengan aksi seorang resi yang turun dari ruang-ruang pertapaan sunyi. Sang resi turun gunung karena terpanggil oleh tugas sejarah yang harus dimainkan. Sang resi itu suci, cerdas, dan tentu tanpa pamrih. Kekuatan yang hanya dimiliki sang resi adalah moralitas untuk memerangi ketidakadilan. Idiom gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral intelektual pun tersembul dan menemukan kemapanan dalam wacana politik.

Berwatak destruktif

Apakah gambaran tentang sang resi yang suci itu masih layak dipertahankan?

Simak berbagai demonstrasi mahasiswa dalam menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Bukankah yang terjadi aksi-aksi destruktif? Penyerangan aparat keamanan negara, perusakan sejumlah fasilitas pemerintah, pemblokiran jalan yang makin menciptakan kemacetan, dan gangguan kenyamanan masyarakat merupakan ekses yang sulit dihindarkan saat mahasiswa menjalankan gerakan massa.

Pejabat pemerintah menunjukkan sikap moderat atas aksi-aksi destruktif ini. Ungkapan ”mahasiswa telah ditunggangi” selalu dihindari. Ada satu-dua pejabat yang terpeleset mengucapkan kata-kata itu. Dampaknya, pejabat itu dituding sebagai pihak yang menggunakan gaya rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa masih dilihat sebagai gerakan murni untuk memperjuangkan nasib rakyat tertindas.

Seandainya pihak yang melakukan gerakan massa destruktif itu adalah petani atau buruh, adakah yang peduli dan membela? Boleh jadi pejabat pemerintah dan aparat keamanan dengan ringan membekuk petani dan buruh yang membikin ulah itu. Jelas, para mahasiswa diuntungkan oleh posisinya yang bercorak nonkelas. Mahasiswa bukan kelompok borjuis yang memiliki modal, juga bukan kaum proletar korban eksploitasi. Ketika melakukan berbagai perusakan dan aksi destruktif, mereka masih disayangi.

Mahasiswa memilih gerakan massa untuk menunjukkan sikap politik. Padahal, kerentanan gerakan massa sulit dicegah. Gerakan massa mudah menjelma sebagai aksi kerumunan. Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology, 1964: 404-407) mengemukakan, kerumunan memiliki empat karakteristik, yakni (1) anonimitas sebagai akibat massa yang hadir begitu besar dan temporer; (2) impersonalitas yang menjadikan identitas individual lenyap; (3) mudah terbujuk karena tidak ada struktur baku, pemimpin yang bertanggung jawab, serta pola-pola perilaku yang dikenali; dan (4) penularan kekerasan mudah terjadi karena aksi kekerasan yang satu diikuti aksi kekerasan berikutnya.

Mudah tersulut

Kekerasan mudah tersulut saat gerakan massa dipilih mahasiswa. Hal ini terjadi karena mahasiswa bukan lagi memerankan diri sebagai resi suci, tetapi lebih sebagai segerombolan orang yang beraksi dalam kerumunan. Sikap permisif menggulirkan kekerasan terlontar karena yang tercipta adalah oposisi biner mahasiswa versus polisi, atau kita melawan mereka. Mahasiswa seolah sedang memainkan peran sang protagonis, sedangkan aparat keamanan dilihat sebagai sosok antagonis yang harus dilenyapkan.

Sifat cair yang ada pada gerakan massa menjadikan para partisipannya tidak lagi homogen. Bukankah gerakan massa selalu dilakukan di ruang-ruang terbuka yang memungkinkan pihak lain mengambil keuntungan di dalamnya? Mengikuti ide Elias Canetti (seperti dikutip F Budiman Hardiman, Memahami Negativitas, 2005: 90-91), mahasiswa (sebagai massa tertutup) yang telah menyiapkan aksi-aksinya mendapat tambahan anggota baru sehingga jumlah pelaku cepat bertambah. Siapa yang berdiri di sekitar aksi massa itu akan ”tersedot” ke dalam massa yang anggotanya kian banyak (massa terbuka).

Menjadi bisa dimengerti jika gerakan mahasiswa yang lebih menonjolkan aksi-aksi massa amat rentan diintervensi pihak lain. Godaan mahasiswa untuk menjalankan gerakan massa memang penuh risiko. Bukan glorifikasi kepahlawanan yang akan diraih mahasiswa, tetapi kecaman masyarakat yang menilai aksi-aksi mahasiswa sedemikian brutal dan menunjukkan watak anti-intelektualitas!

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

“Suap” untuk Mahasiswa? “Suap” untuk Mahasiswa?

06.09 0 Comments

Sungguh tak bermoral bila mahasiswa Indonesia menerima uang dari program Bantuan Khusus Mahasiswa yang diambil dari dana pengalihan subsidi BBM. Dapatkah uang tersebut ditafsirkan sebagai ”uang suap” karena dapat diduga diniatkan untuk meredam gerakan mahasiswa?

Bila pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) tidak pernah ada. Artinya, beban berat kenaikan harga BBM beserta totalitas dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang dipikul masyarakat dikompensasi dengan keuntungan mahasiswa melalui BKM.

Dapat dipertanyakan pula, bermoralkah sebuah rezim pemerintah yang tak becus mengelola kekayaan sumber daya minyak dan mineralnya, lalu membujuk kelompok penentangnya, khususnya mahasiswa, dengan program BKM?
Meredam gerakan mahasiswa

Tak pernah ada rencana pemerintah sebelumnya untuk mengalihkan subsidi BBM kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan, debat di ”Kupas Tuntas” Trans7 (27/5) antara penulis dan Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan) hanya mengungkapkan bahwa subsidi BBM dialihkan kepada rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 14,17 triliun, yang akan dibagikan pemerintah kepada 19,12 juta rumah tangga. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja muncul keputusan pemerintah membagi dana pengalihan subsidi BBM dalam program BKM. Sebanyak 400.000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta akan menerima Rp 500.000 per semester mulai Juli 2008 (Kompas, 28/5).

Ada apa? Program ini adalah sikap reaktif dan panik pemerintah setelah mahasiswa di seluruh Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersama beragam sektor masyarakat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, dan lainnya) serta kelompok menengah dan oposisi. Konfrontasi tak terhindarkan lagi, terutama di Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan terakhir penyerbuan dan perusakan Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dengan kekerasan brutal aparat yang mengakibatkan sekitar 140 mahasiswa ditahan serta terluka ringan dan berat. Sudah 200-an mahasiswa yang ditangkap aparat di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya menjadi tersangka. Tersangka dari Unas saja 31 orang, ditahan sejak 24 Mei 2008.

Titik konfrontasi pemerintahan SBY-JK versus gerakan mahasiswa 2008 semakin tajam dan dipenuhi kekerasan serta rumah tahanan. Tentu penajaman konflik dan perluasan elemen masyarakat semakin mengkhawatirkan pemerintah. Ketika titik konfrontasi gerakan mahasiswa mengerucut, sebuah rezim tinggal menghitung hari kejatuhannya. Apakah berpola Jakarta, Mei 1998, untuk kemenangan status quo Orbais ataukah Filipina, 1986, untuk kemenangan para demokrat-progresif?

Dinamika politik penentunya dan gerakan mahasiswa 2008 jantung perubahannya. Program BLT, kekerasan, dan penjara, serta kini BKM dipadukan untuk meredamnya. Bisakah uang rakyat dipakai untuk mencari popularitas politik dan mempertahankan kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat. Becermin pada sejarah, tak ada cara untuk membalikkan arus sejarah gerakan mahasiswa ini.

BLT versus BKM

Mengapa BLT harus diterima rakyat, tetapi kenaikan harga BBM harus dibatalkan? Karena BLT tanpa kenaikan harga BBM pun adalah hak rakyat miskin seperti yang diamanatkan Konstitusi 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”, jadi sebuah kewajiban konstitusional. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat saja mengenal santunan untuk orang miskin lewat program social security-nya. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.

Di Swedia, misalnya, total jaminan kesejahteraan sosial dari produk domestik bruto (PDB) 24,1 persen (1980), 24,9 persen (1985), 27,3 persen (1990), dan 29,3 persen (1995). Lalu, kesehatan publik terhadap persentase total pengeluaran kesehatan 84,0 persen (1980), 83,6 persen (1985), 82,6 persen (1990), dan 80,8 persen (1990). Bandingkan, pendapatan per kapita Indonesia (metode Purchasing Power Parity) sebesar 3.210 dollar AS, sedangkan Swedia 26.600 dollar AS (Bank Dunia). Di Swedia, kemiskinan dan pengangguran diperangi sekaligus ketimpangan sosial diatasi dengan pajak progresif hingga 50-55 persen. Adakah pajak progresif untuk 200-an konglomerat Indonesia, salah satunya adalah seorang menteri yang kini terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara (asetnya 9,2 miliar dollar AS atau Rp 84,6 triliun)?

Bila BLT mesti diterima rakyat, BKM haruslah ditolak, pertama, merupakan ”uang suap” untuk meredam gerakan mahasiswa 2008; kedua, merupakan ”uang haram” karena bukan hak mahasiswa Indonesia, tetapi hak rakyat dari pengalihan subsidi BBM; ketiga, merusak karakter gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan; keempat, menghancurkan integritas moral dan integritas intelektual mahasiswa Indonesia.

Nah, di titik inilah kita bertemu dengan sikap tegas yang menjadi cermin integritas moral dan intelektual mahasiswa Indonesia—karena mereka berjuang untuk rakyat, bukan untuk BKM—melalui Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran), kata Gie, ”Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan.”

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

Pita Hitam untuk Matinya Keadilan

06.08 0 Comments

Dwi Deni (25), Senin (2/11) siang itu, sengaja meminta izin dari kantornya, konsultan swasta untuk Departemen Pekerjaan Umum. Izinnya, ”Ada keperluan pribadi.” Namun, sebenarnya ia melakukan sesuatu yang disebutnya, ”Demi kepentingan bangsa.”

Siang itu, matahari terik membakar. Dwi berbaur dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Pita hitam melingkar di lengan kirinya. ”Masyarakat maunya sederhana, yang benar didukung dan yang korup diberantas,” kata Dwi.
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan janji-janji. Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Semangat yang sama juga menggerakkan Anwar Umar (80) untuk mengikuti aksi itu. Sama seperti Dwi, pita hitam erat melingkar di lengan kirinya. Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi.

Dengan langkah berat dan lelah, serta suara yang bergetar, Anwar masih bersemangat. ”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi tetap merajalela,” katanya.

Suasana siang itu mengingatkan Anwar pada 11 tahun silam menjelang era reformasi. ”Saya tak rela reformasi hanya melahirkan penguasa yang tak mau berpihak kepada rakyat,” katanya.

Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di beberapa kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju hitam. ”Ini bukan karena ikut-ikutan, tetapi kami secara sadar mendukung gerakan melawan korupsi,” kata Susi Afianti (26), karyawati salah satu bank swasta di kawasan Sudirman.

Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah. Pada hari yang sama, unjuk rasa terjadi di beberapa daerah. Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Di dunia maya, dukungan kian menggelembung. Hingga pukul 21.00, hampir setengah jutafacebookers menyatakan dukungan terhadap Bibit dan Chandra. Dari mana munculnya gerakan ini sesungguhnya?

Kekuatan rakyat

Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, gerakan ini berasal dari kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa. ”Walau tanpa dukungan dari partai oposisi, gerakan ini bisa menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengimbau agar pemerintah tak meremehkan kekuatan rakyat. ”Dukungan rakyat bila tidak mampu dibendung Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat atau people’s power,” katanya.

Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan rakyat di Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun 1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan Soeharto. ”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat tidak mungkin dihadapi dengan kekuasaan,” ujarnya.

Dalam konteks kisruh KPK dan Polri, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Oktober lalu ternyata tidak mampu menyurutkan dukungan masyarakat terhadap Bibit dan Chandra.

Bibit dan Chandra, kata Hikmahanto, telah dijadikan simbol oleh rakyat. ”Semakin lama mereka ditahan, semakin kuat dukungan. Dukungan pun semakin lama semakin berpotensi untuk berubah menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.

Namun, pada akhirnya, menurut Hikmahanto, Presiden mulai mendengar suara kritis dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Proses Hukum terhadap Bibit dan Chandra. Hikmahanto menjadi salah satu anggotanya. ”Jangan terlalu banyak berharap, tetapi kita akan bekerja keras dalam dua minggu ini,” katanya.

Apakah ini akan meredam gerakan rakyat yang sudah kadung kecewa berat?

Bagai candu

Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan Chandra. ”Tetapi, seharusnya menjadi tonggak untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi. Selama tim independen belum menyentuh masalah ini, kami akan terus bergerak,” katanya.

Malam itu, setelah lelah berpanas di HI, Irma Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk di studio rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung KPK tengah membuat ringtone untuk telepon genggam. Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan Cholil ’ERK’. Besokringtone ini mulai beredar di seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.

Simaklah liriknya, KPK di dadaku KPK kebanggaanku, kuyakin kebenaran pasti menang. Kobarkan semangatmu, tunjukkan kebersihanmu, kuyakin kebenaran pasti menang.

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

Mengenang Corazon Aquino Oleh Wayan Marianta

06.07 0 Comments

Rakyat Filipina dan pencinta demokrasi berduka atas kematian Corazon ”Cory” Cojuangco Aquino (1/8/2009). Warisan inspirasi apa dari ikon demokrasi ini?

Di mata Presiden Ferdinand Marcos dan kroninya, Cory Aquino ”hanya” seorang ibu rumah tangga. Ungkapan itu muncul saat Cory menantang Marcos pada pemilihan presiden (7/2/1986).

Marcos mengumumkan Snap Presidential Election secara tiba-tiba, November 1985, untuk memamerkan kepada dunia dia masih memegang mandat rakyat. Marcos yakin oposisi tidak akan mampu menandinginya. Benigno ”Ninoy” Aquino Jr, pemimpin karismatik oposisi, ditembak mati tahun 1983 saat menginjakkan kaki di Bandara Internasional Manila sepulang dari pengasingan politik di Boston, AS.
Kalkulasi politik Marcos meleset. Kemartiran Ninoy Aquino menyulut amarah rakyat terhadap Sang Tiran yang melanggengkan kekuasaan selama 20 tahun dengan teror dan kelicikan. Oposisi berhasil membangun koalisi dengan menempatkan Cory, istri Ninoy, sebagai simbol gerakan moral melawan tirani.

Marcos ditumbangkan melalui people power revolution. Cory, ibu rumah tangga yang sebetulnya enggan terjun ke pentas politik, dilantik menjadi presiden.

Konsolidasi demokrasi

Presiden Cory mengemban dua agenda utama: konsolidasi demokrasi dan pemulihan ekonomi. Di bawah pemerintahannya (1986-1992), kebebasan pers dipulihkan. Tahanan politik pada masa Marcos dibebaskan. Konstitusi baru disahkan Februari 1987 melalui referendum, menggantikan Konstitusi 1973, produk rezim otoriter Marcos. Pemilihan anggota legislatif dan pemerintah daerah berjalan demokratis meski ditandai kebangkitan figur-figur politikus dari berbagai keluarga yang telah lama mendominasi pentas politik Filipina.

Tidak mudah menjadi presiden pada masa transisi. Penegakan pemerintahan sipil diganggu dengan tujuh kali upaya kudeta, dari Juli 1986 sampai Desember 1989. Ironisnya, kudeta-kudeta itu tidak hanya dilakukan kelompok militer pendukung Marcos, tetapi juga kelompok militer yang menjatuhkan Marcos.

Pemulihan ekonomi dihadang banyak kendala, antara lain instabilitas politik akibat kudeta, gempa bumi, dan letusan Gunung Pinatubo. Di bawah tekanan IMF, Bank Dunia, dan AS, Cory memutuskan membayar seluruh utang peninggalan Marcos, 27,2 miliar dollar AS plus bunga, meski 10-15 miliar dollar AS dari utang itu masuk ke rekening pribadi rezim lama (Abinales dan Amoroso, 2005:233).

Pembayaran utang mencapai 3,5 miliar dollar AS per tahun (sekitar 10 persen PDB). Tahun 1987, 50 persen budget nasional untuk membayar utang (Bello, 2004:14). Akibatnya, kemampuan negara menstimulasi pemulihan ekonomi menjadi lumpuh.

Cory bukanlah presiden yang sempurna. Keputusannya untuk mempertahankan pangkalan militer AS (Subic dan Clark) dinilai melemahkan kedaulatan negara. Keputusan itu dibuat mengingat peran penting militer AS dalam kejatuhan Marcos dan pengamanan masa transisi. Kudeta militer berdarah Desember 1989 berhasil dilumpuhkan antara lain berkat dukungan militer AS.

Cacat pemerintahan Cory pada kelemahan mengimplementasi program land reform yang dimandatkan Konstitusi 1987. Saat program land reform membidik 6.000 hektar tanah perkebunan Hacienda Luisita milik keluarga besarnya di Tarlac, Presiden Cory gagal memberi dukungan politis yang diperlukan untuk mengeksekusi program itu.

Meski pemerintahannya mengandung kecacatan, Cory mewariskan demokrasi dan mampu menolak godaan penyalahgunaan kekuasaan. Cory adalah satu-satunya presiden yang tidak mencoba memperpanjang masa jabatan dengan mengamandemen Konstitusi 1987 yang membatasi jabatan presiden untuk satu term (6 tahun).

Pesan terakhir

Keluarga Cory menolak tawaran pemakaman kenegaraan dari pemerintah. Keputusan itu rupanya terkait partisipasi Cory, belakangan ini, dalam gerakan menuntut Presiden Gloria Macapagal-Arroyo mundur karena dugaan korupsi dan kecurangan dalam pemilu 2004.

Pesan lain, Cory ingin dimakamkan di samping suaminya, Ninoy, sebagai warga negara biasa. Dia tidak memandang dirinya sebagai pahlawan, tetapi warga biasa yang diberi kepercayaan memimpin negara. Setelah mengemban kepercayaan sebagai presiden, Cory kembali hidup sebagai rakyat biasa dan menolak diperlakukan istimewa. Kerendahan hati. Itulah yang perlu diresapkan sebagai inspirasi bagi para pemimpin.

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220


0 komentar:

People Power dan Pergantian Rejim

06.06 0 Comments

Di hari-hari ini, terkait respons pemerintah atas kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, sejumlah kalangan mulai menyebut-nyebut kembali soal people power. Apa dan bagaimana aksi politik ini sejatinya? Sepenjang sejarah, people power terus berulang. Gerakan mahasiswa (1968/1972) di Eropa Barat (saat itu), gerakan anti rezim militer Thailand (1973), EDSA revolution Filipina (1986), Velvet Revolution (1989) di Cekoslowakia saat itu, hingga runtuhnya Tembok Berlin (1989). Bahkan, sejak pergantian millennium, hampir saban tahun publik dunia menjadi saksi gerakan rakyat, mulai dari Bulldozer Revolution di Serbia (2000), EDSA II di Filipina (2001), Rose Revolution di Georgia (2003), Orange Revolution di Ukraina (2004), Tulip Revolution di Kyrgyzstan (2005), Cedar Revolution di Lebanon (2005), Jeans Revolution di Belarus (2006), PAD Movement di Thailand (2006 dan 2008), Saffron Revolution di Burma (2007) dan terakhir Green Revolution di Iran (2009).

People power juga sering disebut “color revolutions” merujuk pada identitas warna atau lambang (biasanya, bunga), yang dikenakan massa pendukung gerakan tersebut. Ciri utama terletak pada ruh dan pilihan instrumen “aksi damai” dan melibatkan “orang biasa” –bukan pelaku politik formal. Serta, menyertakan tuntutan ini: perubahan rezim.

McAdam, Tarrow, dan Tilly (2001) melabeli people power dengan istilah “trangressive contention”: “cases of contention in which at least some of the parties to the conflict are newly self-identified political actors employing innovative collective action or adopts means are either unprecedented or forbidden within the regime in question to making claims.” Merujuk formula McAdam dkk., catatan ini menyoroti secara khusus tiga faktor kunci dari beberapa episode people power.

Elemen Pendukung

People power merupakan proses dinamis yang meletup karena terimbas dari aktivitas maupun momentum yang terjadi sebelumnya. Mekanisme meretasnya people power dipengaruhi sejumlah elemen. Pertama, struktur mobilisasi. Keunggulan people power bertumpu pada kemampuan memobilisasi massa dengan tuntutan isu yang seragam dan dikemas dalam aksi damai pada rentang waktu tertentu. Penggunaan media high-tech tak sebatas membentuk opini dan solidaritas virtual, tapi sampai pada menghipnotis massa untuk tumpah ruah di jalanan. Saat EDSA I (1986), peran Radio Veritas sangat vital dalam menciptakan kanal mobilisasi. Siaran Radio Veritas tidak saja menjadi satu-satunya medium komunikasi yang menyiarkan langsung perkembangan aksi, tapi juga memberi informasi pada “kerumunan” atas pergerakan pasukan Marcos, permintaan logistik, dan yang terpenting memobilisasi hingga dua juta orang di sekitar camp Aquinaldo dan EDSA. Pada EDSA II, peran Radio Veritas digantikan pesan
pendek via telepon genggam. Green Revolution di Iran menggunakan Internet, khususnya media Twitter.

Elemen kedua, brokerage dan boundary activation. People power semakin meluas bila terdiri dari beragam elemen kelompok maupun organisasi masyarakat. Galibnya, kelompok inti gerakan adalah organisasi mahasiswa maupun organisasi non-pemerintah. Tapi ini saja tidak cukup. Gerakan demonstrasi di Eropa pada 1968, semula hanya dilakoni mahasiswa yang menuntut perbaikan kondisi pekerja. Tanpa kemampuan merangkul dan menggerakkan kelompok buruh dan kelompok sosial lain, mustahil gerakan ini membesar dan memiliki efek domino di beberapa negara Eropa Barat.

Selanjutnya, elemen ketiga, adalah instrumen gerakan. Penggunaan instrumen aksi yang telah baku dan “ditoleransi” penguasa lazim digunakan. Tapi, selain mudah diantisipasi, menggunakan cara itu-itu saja cenderung tidak memikat orang untuk bergabung. Perlu dicatat, people power memiliki karakter sebagai “pesta rakyat” yang sanggup membuat orang biasa rela berpeluh dan meluangkan waktu. Cara-cara inovatif dan bahkan di luar kelaziman seperti dipertunjukkan gerakan PAD di Thailand dengan menduduki Bandara Don Muang dan Suvarnabhumi serta pendudukan kantor perdana menteri, membuat aktivitas pemerintahan lumpuh serta memacetkan sektor pariwisata sehingga menambah daya tekan terhadap rezim.

Elemen terakhir adalah “sertifikasi.” Mendapatkan legitimasi atas gerakan merupakan hal penting – bahwa gerakan tersebut sah dan “direstui.” Penggunaan atribut warna kuning yang merupakan simbol kerajaan Thailand atau keikutsertaan Kardinal Sin di Filipina, memberi sinyal kepada “penonton” bahwa gerakan ini direstui raja dan otoritas gereja sehingga menyemangati khalayak ramai untuk bergabung.

Bingkai Gerakan

Mengemas people power menjadi tuntutan bersama demi terwujudnya perubahan rezim menjadi poin krusial bagi gerakan. Sepanjang dua dasawarsa terakhir, landasan moral yang menjadi tuntutan politik dari beragam people power adalah melawan rezim otoriter dan korup. Meramu alasan yang dikemas dalam isu-isu populer menjadi penting guna membentuk identitas, solidaritas, serta tuntutan politik.

Keberadaan solidarity maker juga krusial untuk membentuk solidaritas dan asosiasi massa terhadap tokoh atau organisasi sebagai pengikat gerakan. Pentolan gerakan seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Vaclav Havel, Cory Aquino, dan Lech Wałęsa, menjadi personifikasi dari people power tersebut. Warna, simbol, serta logo merupakan atribut yang membentuk identitas gerakan. Atribut lain, misalnya, slogan dibutuhkan pula. Sebagai contoh, aktivis people power di Filipina memakai slogan LABAN (Lawan!).

Tak kalah penting adalah tuntutan. Meramu tuntutan bukan perkara mudah, karena ada beragam kelompok dan individu dalam gerakan people power dengan kepentingan dan “tingkat kepuasan” capaian berbeda. Aktivis PAD di Thailand menetaskan tuntutan “New Politics,” di Filipina (2001) dengan RIO-nya (Resignation- Impeachement- Ousted), sedangkan di Serbia “Gotov je” (Dia – Milosevic – Tamat!), sebagai ungkapan sekaligus tuntutan terhadap rezim.

Memudarnya lintas negara dan kemajuan teknologi komunikasi membuat para pemrakarsa people power dapat saling bertukar jurus. Hal yang terjadi di Filipina dapat dimodifikasi di Ukraina atau kegagalan di Burma dan Iran dapat menjadi pelajaran penting bagi pegiat di belahan dunia lain. Bahkan, “bantuan teknis” pun kerap dilakukan seperti yang dilakukan Otpor (gerakan mahasiswa dari Belgrade University di Serbia,) yang menularkan kisah sukses mereka, di antaranya, ke Georgia, Ukraina, Kyrgistan, dan Belarus.

Tipe Rezim

Tipologi rezim sangat menentukan corak dan proses gerakan. Tarrow dan Tilly (2007) membagi empat kuadran tipe rezim: rezim otoriter atau demokratis serta rezim dengan kapasitas rendah atau tinggi. Kapasitas rezim merujuk pada kemampuan mengontrol teritori dan tingkat soliditas rezim. Rezim otoriter dan berkapasitas tinggi mampu meredam gerakan rakyat dengan cara represif dan cenderung brutal. Kegagalan saffron revolution yang melibatkan para biksu di Burma, menjadi bukti betapa rezim otoriter dengan kemampuan represif mampu mematahkan people power. Rezim ini juga yang mengudeta Aung San Suu Kyi dan menumpas “protes 8888” (aksi penolakan kudeta junta militer pada 8 Agustus 1988).

Cerita sukses people power umumnya terjadi pada rezim otoriter dengan kapasitas rendah. Skandal, baik korupsi atau pemilu, membuka peluang gerakan massa menyeruak karena kemampuan rezim dalam mengendalikan teritori dan menggunakan instrumen kekerasan terbatas. Belum lagi jika secara internal timbul keretakan di kalangan elit. Dengan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka, perubahan rezim menjadi niscaya.

Untuk Asia Tenggara, “berlaku” siklus people power dalam merontokkan rezim predator–dimulai dari Filipina merambat ke Thailand dan singgah di Indonesia. Dengan dimotori para veteran people power sebelumnya, Filipina berhasil menggulingkan Joseph Estrada dan Thailand mengusir Thaksin Sinawatra. Dengan tipologi rezim hybrid, berkapasitas rendah, serta cenderung lamban dalam mengambil keputusan, tentunya membuka peluang bagi gerakan people power di Indonesia. Akankah siklus ini berputar sempurna?

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

Seberapa Bahagia Bangsa Kita?

06.05 0 Comments

Adrian White dari Universitas Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia. Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64.

Survei lain satu dasawarsa lalu menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa?

Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu?

Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.

Itu berarti tingkat stres hidup orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau stres merundung.

Stres merusak badan, selain merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan (pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah pikulan stres kebanyakan orang sekarang.

Paradoks ”n-Ach”

Pada awal modernisasi kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement (”virus jiwa n-Ach”). Jiwa bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya. Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan ekonomi bangsa.

Namun, kini terbukti, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu.

Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy.

Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.

Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.

Banyak uang tak bahagia

Filosofi orang banyak yang salah kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang.

Sejatinya uang betul penting. Tapi, bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa.

Karena kesuksesan kebanyakan orang ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak bahagia sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan.

Orang bisa membeli ranjang emas, bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak berbahagia.

Universitas di negara maju sekarang menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan produktivitas buat negara akan terpetik.

Pintar saja tak cukup. Sekarang anak perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah. Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajarim tetapi berkembang sendirinya bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah satunya.

Kekayaan negara bukan segalanya. Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah bikin bangsa bahagia.

Buat kita, supaya bisa sebahagia orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga mampu menebus kebahagiaan dalam hidup.

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

Menyemai Kebebasan Beragama

06.03 0 Comments

Budhy Munawar Rachman – The Asia Foundation

Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish Madjid.

Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama.
Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya adalah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit pada tahun 2003, dengan jelas menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan.

Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development.

Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar.

Sampai di mana pergulatan pemikiran umat Islam di Indonesia terkait isu modernisasi?

Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru.

Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang baik.

Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi.

Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap untuk mengimplementasikan demokrasi. Tetapi, masyarakat sebenarnya masih membutuhkan tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal.

Bisa memberi contohnya?

Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an.

Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat karena ide ini dianggap ”barat” dan tidak cocok dengan ide ”Timur” dan Islam. Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat adalah LSM yang peduli feminisme.

Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima.

WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka.

Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana maupun terorisme.

Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan cenderung radikal.

Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul?

Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan.

Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah.

Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak sampai pada tahap yang membahayakan jiwa.

Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme?

Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda.

Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme.

Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia?

Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir dan berargumen sehingga menjadi jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin.

Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum sampai pada tahap praktis.

Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al Quran laa iqroha fid-dien, yang artinya tak ada pemaksaan dalam beragama. Tetapi, sekarang tantangannya lebih berat.

Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah.

Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi aktif?

Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat.

Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana.

Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun negara-negara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan.

Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain.

Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih perlu waktu.

Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu?

Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai.

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita

06.02 0 Comments

Membangun Komunitas berpengharapan
Judul Buku : The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita

Penulis : Mgr Ignatius Suharyo
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 248 halaman

JENAZAH orang muda bernama Giorgio Frassati diterbangkan dari kota Torino, Italia, menuju Sydney, Australia. Ini terjadi pada peringatan Hari Kaum Muda Sedunia di Sydney, 2008. Giorgio Frassati lahir dari keluarga kaya namun hidupnya ia dedikasikan untuk melayani orang miskin, sakit, dan telantar. Pelayanannya kepada kaum duafa membuat ia mati dalam usia yang relatif muda, 24 tahun. Ia meninggal akibat penyakit dari orang-orang miskin yang dilayaninya. Pada saat meninggal, ribuan orang miskin datang melayat sebagai bentuk penghormatan.

Dengan menghadirkan jenazahnya di Sydney, Paus Benediktus XVI menawarkan teladan kaum muda yang telah mengalami kehadiran Tuhan dan kasih yang mengubah dan membaharui hidupnya, sehingga menumbuhkan harapan di antara orang miskin yang mengalami ketidakberdayaan (hal. 213-214).

***
Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan, dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan. Demikian ajakan lagu ”The Prayer” yang popular beberapa tahun lalu. Lagu ini pula yang menjadi memberi semangat Mgr Ignatius Suharyo, penulis buku ini, ketika menjalani tugas pelayanan di Keuskupan Agung Semarang. Sebab, kenyataan menunjukkan dunia yang berbeda.

Dalam konteks Indonesia, saat ini masyarakat sedang berjuang melawan korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam situasi semacam ini, menurut Uskup Haryo (panggilan Mgr Ignatius Suharyo, Red), perutusan untuk mewartakan pengharapan menjadi jelas. Dalam bahasa lain, iman mesti terlibat dalam upaya membangun harapan, di tengah situasi gamang dan kadang hopeless. Dalam buku ini uskup mengajak agar umat tetap teguh dalam iman, berpengharapan, dan penuh kasih, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, gereja maupun negara. Dengan begitu, kita bisa melibatkan diri untuk membangun tata dunia yang lebih baik.

Buku ini merupakan buah pemikiran, pandangan, dan ajaran iman Mgr Haryo selama menjadi gembala umat di Keuskupan Agung Semarang (KAS). Di wilayah reksa pastoralnya, ia dikenal sebagai gembala yang murah hati, lembut, terbuka, dan bijaksana. Dengan keterbukaannya dia banyak membuat kebijakan pastoral yang memberdayakan umat.

”Silahkan umat dari berbagai elemen membuat karya, dengan siapa pun yang berkehendak baik. Kalau salah ya diampuni, kalau keliru yang dikoreksi.” Itulah wejangan Uskup Haryo di berbagai kesempatan, agar umat tidak takut bereksperimen dan berekplorasi dalam mengembangkan iman dan dialog dengan siapa saja. Maka, karena kebijaksanaannya, ke lembutannya, dan ketegasannya menggembalakan umat di KAS, Uskup Haryo amat dicintai umat.

Umat KAS merasa kehilangan gembala saat Mgr Haryo meninggalkan Semarang untuk bertugas perutusan di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Namun umat juga bangga, karena gembalanya mendapat tugas terhormat di kota metropolitan yang penuh tantangan dan situasinya lebih kompleks. Buku ini juga dimaksudkan sebagai kenang-kenangan atas kepergian Uskup Haryo untuk bertugas di tempat yang baru, dengan satu sesanti, ”Mari dengan tekun bekerja terus membangun komunitas yang berpengharapan”.

Buku ini dapat menjadi bacaan atau referensi masyarakat secara luas, karena isi pokok dalam buku ini mengulas bagaimana persoalan hidup berbangsa dan bernegara. Dari tema-tema itu, Uskup Haryo selalu menyelipkan tema harapan. Dia menegaskan betapa pentingnya keutamaan pengharapan bagi umat manusia yang hidup pada zaman ini.

Buku ini mirip buku Crossing the Threshold of Hope (Melintasi Ambang Batas Pengharapan) yang terbit pada 1994. Buku tersebut mengupas berbagai persoalan aktual di dunia saat ini, di mana Paus Yohanes Paulus II sebagai nara sumber menjawab dengan tuntas dan mendalam persoalan aktual zaman ini.

Nah, buku tulisan Uskup haryo ini rupanya tak jauh berbeda dengan buku Crossing the Threshold of Hope. Hanya saja, Uskup Haryo menjawab dalam konteks persoalan Indonesia saat ini.

***

Sudah sekian tahun sejak reformasi berjalan, keadaan masyarakat, bangsa, dan negara tampaknya tidak menjadi lebih baik. Korupsi tetap merajalela, masyarakat miskin bertambah, lingkungan hidup semakin rusak dan sekian banyak masalah lain membuat hidup semakin sulit. Dalam keadaan semacam itu, buku ini hadir untuk ikut berpartisipasi menyumbangkan gagasan dan inspirasi untuk membangun komunitas yang berpengharapan. Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme lebih bernuasa psikologis, sedangkan harapan bernuansa spiritual. Optimisme mudah hilang kalau ternyata perhitungan-perhitungan yang melandasi optimisme itu salah. Harapan tidak akan hilang, karena dilandasi oleh janji Tuhan sendiri. Maka, dalam dekade terakhir, Konferensi Waligereja Indonesia banyak mengeluarkan Surat Gembala atau seruan pastoral yang berkaitan soal pengharapan.

Pada 1997, ketika situasi sosial-politik-ekonomi di Indonesia tidak menentu, KWI menulis Surat Gembala ”Keprihatinan dan Harapan”. Ketika terjadi pembaharuan dan reformasi pada 1999, KWI menerbitkan Surat Gembala dengan judul ”Bangkit dan Tegak dalam Pengharapan”.

Pada 2001, ketika negara tidak menjadi lebih baik terbit lagi Surat Gembala dengan judul ”Tekun dan Bertahan dalam Pengharapan: Menata Moral Bangsa”. Berpengharapan menjadi keutaman orang beriman, terutama saat menghadapi dunia yang penuh tantangan ini.

Buku ini ditutup dengan kata-kata pengharapan yang membuat orang tidak takut akan segala rintangan: be not afraid (jangan takut). ”Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab, kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan payahmu tidak sia-sia” (1 Kor 15:58).

Buku ini sungguh inspiratif dan menggugah kesadaran kita untuk mau berjuang dan berpengharapan di tengah kesulitan hidup pribadi, berbangsa, dan bernegara.

Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220

0 komentar:

Tukang Kebun Indonesia

05.59 0 Comments

Tanggal 14 Desember 2009 pas 40 tahun kematian Soe Hok Gie di Gunung Semeru, Jawa Timur. Kami alumni Universitas Indonesia mempersiapkan buku Soe Hok Gie Sekali Lagi yang dirilis 18 Desember dan ”Napak Tilas Soe Hok Gie” yang diadakan Komunitas Kelompok Pencinta Alam Malang/Mapala UI di Gunung Semeru pada 20 Desember.

Justru setelah tutup usia dalam usia 27 tahun, banyak yang sadar bahwa ia pejuang konsisten. Banyak yang mafhum bahwa saat sebagian besar mahasiswa menikmati bulan madu bersama Orde Baru, ia justru keluar dari magnet kekuasaan.
Predikat konsisten itu menempel pada diri dan aktivitas Hok Gie karena tiga hal, yakni ia pribadi baik, bersih, dan pemberani. Ia memimpin mahasiswa yang pada hari-hari Januari 1966 menggalang kekuatan memprotes Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun, yang ia protes bukan pribadi Bung Karno, melainkan Orde Lama.

Ia tetap bersimpati terhadap sosok Bung Karno sebagai pribadi, yang ia tegaskan melalui pernyataan atau artikel di koran. ”Saya katakan bahwa Bung Karno telah menyengsarakan rakyat. Tetapi, itu tidak berarti bahwa penentang-penentang Bung Karno pahlawan pembela rakyat. Banyak di antara mereka yang bajingan dan oportunis,” katanya.

Sikap tak pandang bulu Hok Gie, misalnya, ditunjukkan tahun 1968, tak lama setelah Soeharto jadi presiden. Ia menggalang mahasiswa dan alumni memprotes Kodam V Jaya yang mau mengooptasi aspirasi kampus melalui siaran RUI (Radio UI). Old habit die hard!

Sekalipun ikut berjasa membidani kelahiran Orde Baru, Hok Gie memilih jadi dosen sejarah di Fakultas Sastra UI. Ia masih teramat belia dan punya peluang merebut posisi politik menguntungkan. Namun, ia lebih suka menyendiri ke puncak gunung menemukan kedamaian hati.

Kami angkatan 1970-an ke atas yang aktif di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa UI ”mengenal” Hok Gie dari buku, artikel, dan cerita. Kami tahu ia konsisten karena ia mempelajari sejarah bangsanya.

Ketika para pemuda/mahasiswa mengucapkan Sumpah Pemuda, dunia relatif makmur. Tekad menyatakan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” merupakan kulminasi dari perjuangan bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Begitu banyak kebetulan sejarah yang terjadi saat dimulainya abad ke-20.

Asia bangga Jepang mengalahkan Rusia dalam perang 1905 walau militerisme Jepang tak kuasa menahan nafsu menjajah China dan Korea. Perang Dunia I 1914 mengubah perimbangan kekuatan Eropa. Negara-negara di benua tua itu mempertahankan stabilitas dan perdamaian sambil melanjutkan dominasi kultural di negara jajahan.

Namun, akhirnya mereka bersaing sendiri. Mereka mengaku beradab dan demokratis, tetapi dipermalukan sendiri oleh fasisme Perdana Menteri Italia Benito Mussolini dan ambisi ekspansionis Kanselir Jerman Adolf Hitler. Amerika Serikat mengakhiri netralitas saat Presiden Woodrow Wilson menyeret negaranya ke Perang Dunia I.

Setahun setelah Sumpah Pemuda, Amerika Serikat dilanda ”Depresi Besar” yang juga melanda sebagian Eropa. Dalam konteks dunia seperti itulah nasionalisme Indonesia tumbuh. Para pemuda/mahasiswa ketika itu dipengaruhi pula oleh kebangkitan kebangsaan di Turki, India, dan China.

Boedi Oetomo didirikan 1908 oleh Wahidin Soediro Hoesodo, Raden Soetomo, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Tujuannya nonpolitis, menuntut Belanda mengembangkan pendidikan yang menjamin kemuliaan pribumi. Pada akhir 1909 anggota Boedi Oetomo mencapai sekitar 10.000 orang, kebanyakan bermukim di Jawa/Madura.

Daya tarik Boedi Oetomo berkurang ketika Hadji Samanhoedi dan Raden Mas Tirtoadisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) 1909. Tiga tahun kemudian SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang mengalami keemasan ketika dipimpin HOS Tjokroaminoto.

Ada juga Nationale Indische Partij (NIP) yang didirikan 1929, organisasi ”campuran” Eurasia/pribumi pimpinan Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantoro. Seorang anggota NIP, Hendrik Sneevliet, menginfiltrasi SI membuka jaringan komunisme internasional yang melibatkan Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka.

Perserikaten Kommunist di India (PKI) berdiri 1920, melanjutkan persaingan perjuangan kebangsaan SI versus komunis. Tokoh-tokoh Islam nasionalis yang ogah terlibat kompetisi mendirikan Muhammadiyah, 1912, yang dipimpin KH Ahmad Dahlan. Lewat ideologi berlainan, semua kekuatan pemuda/mahasiswa memulai perjuangan.

Bung Hatta ambil bagian sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia, kumpulan mahasiswa di Belanda, mulai 1922. Empat tahun kemudian lahir Nahdlatul Ulama yang salah satu pendirinya, Wahid Hasjim, adalah ayah Gus Dur. Setelah itu Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia 1927.

Semua potensi pemuda/mahasiswa bergabung ke Permoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada akhirnya dinamika perimbangan kekuatan nasionalis, komunis, militer, dan Islam melahirkan ”konflik dan konsensus” dalam perpolitikan Orde Lama.

Mahasiswa Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendukung lahirnya Orde Baru. Mahasiswa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan Hariman Siregar mengoreksi Orde Baru. Mahasiswa 1998 menjadi the highest power penumbang Orde Baru.

Seperti Hok Gie, mahasiswa 2009 tetap konsisten. Mereka sudah turun ke gelanggang untuk melawan kriminalisasi KPK, membongkar mafia hukum, dan, sebentar lagi, mendesak DPR menguak tabir skandal Bank Century. Seperti Hok Gie, mereka baik, bersih, dan pemberani.

Kini nyaris setiap hari mahasiswa berunjuk rasa di sejumlah kota. Bisa dibayangkan apa jadinya jika mahasiswa berpangku tangan saja? Sementara pada saat yang sama pers, masyarakat madani, profesional, dan DPR pasrah?

Mahasiswa satu-satunya kekuatan moral pengawal hati nurani rakyat. Mereka beberapa tahun saja menyandang status sebagai mahasiswa. Mereka ibarat tukang kebun yang menyirami taman Indonesia yang indah supaya tak dikotori siapa pun yang memerintah kita.


Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220


0 komentar:

DUA CIRI SEKOLAH YANG MELAKUKAN PEMBELAJARAN AKTIF

05.48 0 Comments

A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI


Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, pot bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).

B. SUMBER DAYA MANUSIA


Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.


Nama : IHSAN INMAS SETYAMA
Kelas : 3 KA 13
NPM : 14113220



0 komentar:

Contoh Diksi yang benar dan salah

11.27 0 Comments

Diksi yang salah




Diksi yang benar


0 komentar:

Kalimat Diksi dan Kalimat Efektif

11.23 0 Comments


Kalimat Diksi dan Kalimat Efektif


    Kalimat Diksi     




          Diksi atau pilihan kata merupakan istilah yang umum digunakan dalam bahasa dan sastra .Diksi merupakan salah satu unsur intrinsik dalam penulisan puisi .Pengertian diksi menurut para ahli juga semakin berkembang dan tak hanya mencakup dunia sastra saja.Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pemakaian diksi juga perlu diperhatikan .
          Menurut pakar sastra terkenal dunia, Korys Geraf . Menurutnya ,diksi dan gaya bahasa dituliskan dalam beberapa poin penting ,yaitu (1) diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan ,cara membentuk suatu kelompok kata yang tepat ,dan gaya bahasa yang dipakai dalam situasi tertentu ,(2) diksi adalah kemampuan dalam membedakan nuansa gagasaan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk kata yang sesuai dengan situasi sehingga memiliki nilai rasa yang tinggi,(3) diksi yang tepat dan sesuai mungkin hanya bisa digunakan oleh orang yang memiliki perbendaharaan kata yang luas .
          Berikut ini  adalah fungsi-fungsi dari diksi ,sebagai berikut .
  • Diksi membuat pembaca atau pendengar bisa memahami dan mengurangi kesalahpahaman pada gagasan yang telah disampaikan oleh pembicara atau penulis.
  • Agar bisa menjalin komunikasi yang efektif
  • Membantu seseorang untuk mengungkapkan gagasan secara verbal
  • Dalam membentuk pengekspresian gagasan dengan tepat dan sesuai dengan konteks yang diinginkan
Contoh Kalimat Diksi :
1.     Nenekku mampus tadi pagi (tidak tepat)
Nenekku meninggal dunia tadi pagi (tepat)

Kalimat Efektif 

          Pengertian kalimat efektif: adalah kalimat yang mengungkapkan pikiran atau gagasan yang disampaikan sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh orang lain.
Ciri-ciri kalimat efektif:
1.     Kesepadanan 

Suatu kalimat efektif harus memenuhi unsur gramatikal yaitu subjek, predikat, objek dan keterangan. Di dalam kalimat efektif harus memiliki keseimbangan dalam pemakaian struktur bahasa. Contoh:
Amara pergi ke sekolah, kemudian Amara pergi ke rumah temannya untuk belajar. (tidak efektif)
Amara pergi ke sekolah, kemudian kerumah temannya untuk belajar. (efektif)
   
       2. Kecermatan dalam Pemilihan dan Penggunaan Kata
Dalam membuat kalimat efektif jangan sampai menjadi kalimat yang ambigu (menimbulkan tafsiran ganda)
Contoh:
Mahasiswi perguruan tinggi yang terkenal itu mendapatkan hadiah (tidak efektif)
Mahasiswi yang kuliah di perguruan tinggi yang terkenal itu mendapatkan hadiah. (efektif)

       3.Kehematan
 Kehematan dalam kalimat efektif maksudnya adalah hemat dalam mempergunakan kata, frasa atau bentuk lain yang di anggap tidak perlu, tetapi tidak menyalahi kaidah tata bahasa.
Contoh:
Karena ia tidak diajak, dia tidak ikut belajar bersama belajar di rumahku. (tidak efektif)
Karena tidak diajak, dia tidak ikut belajar bersama di rumahku. (efektif)

       4. Kelogisan
Bahwa ide kalimat itu dapat dengan mudah dipahami dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.
Contoh:
Untuk mempersingkat waktu, kami teruskan acara ini. (tidak efektif)
Untuk menghemat waktu, kami teruskan acara ini. (efektif)

      5.Kesatuan atau Kepaduan
Maksudnya adalah kepaduan pernyataan dalam kalimat itu, sehingga informasi yang disampaikannya tidak terpecah-pecah.
Contoh:
Kita harus dapat mengembalikan kepada kepribadian kita orang-orang kota yang telah terlanjur meninggalkan rasa kemanusiaan itu. (tidak efektif)
Kita harus mengembalikan kepribadian orang-orang kota yang sudah meninggalkan rasa kemanusiaan. (efektif)

       6. Keparalelan atau Kesejajaran
Adalah kesamaan bentuk kata atau imbuhan yang digunakan dalam kalimat itu.
Contoh:
Kakak menolong anak itu dengan dipapahnya ke pinggir jalan. (tidak efektif)
Kakak menolong anak itu dengan memapahnya ke pinggir jalan. (efektif)
Harga sembako dibekukan atau kenaikan secara luwes. (tidak efektif)
Harga sembako dibekukan atau dinaikkan secara luwes. (efektif)

0 komentar: